PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA
PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA
Hendra
Darmawan1, M. Ikhsan2,
Zainal Abidin3
1Mahasiswa
Prodi Magister Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala
2, 3 Dosen Prodi
Magister Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala
Email: hendradarmawan89@gmail.com
Absrtak: The ability to solve problems and
mathematical communication become important things that must be owned by
students. One learning model that has the potential to make students able to
develop problem solving skills and mathematical communication skills is problem-based
learning. This study aims to determine students 'problem solving abilities and
students' mathematical communication skills after being taught with
problem-based learning models. To achieve this goal, this study used a
quantitative approach with a pretest-postest groups design experimental
research design. The population in this study were all IX grade students of SMP
Negeri 1 Bandar Baru, Pidie Jaya Regency. The sampling technique in this study
used a random sampling technique. The sample in this study was class VIII-1 and
class VIII-2 respectively as the experimental class and the control class. Data
processing results of this study were carried out with t-statistics. Based on
the results of the study it is known that the problem solving abilities and
mathematical communication of students in the statistical material taught by
problem-based learning models are better than students' problem solving
abilities and mathematical communication conventionally taught.
Keywords: Problem Based Learning,
Problem Solving Ability, Mathematical Communication
Pendahuluan
Matematika
sekolah merupakan bagian dari matematika yang unsur-unsurnya dipilih untuk
mendukung kepentingan pendidikan dan perkembangan IPTEK. Hal ini menjelaskan
bahwa matematika sekolah berdasarkan penyajiannya, pola pikirnya, keterbatasan
semestanya dan tingkat kebastrakannya tidak sama dengan matematika pada umumnya
(Soedjadi, 2000:37). Inovasi-inovasi dalam pembelajaran matematika di sekolah
diharapkan mampu memperbaiki dan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM).
Adapun tujuan
diajarkannya matematika di sekolah, antara lain: agar peserta didik memiliki
kemampuan; (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dan
tepat dalam pemecahan masalah; (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti,
atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) Memecahkan masalah yang
meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan
model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) Mengkomunikasikan gagasan
dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;
(5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (BSNP, 2006: 148).
Sementara itu,NationalCouncil of Teachers
of Mathematics atau NCTM (2000) menyatakan bahwa standar matematika sekolah haruslah mencakup
standar isi dan standar proses. Adapun standar proses meliputi pemecahan
masalah, penalaran dan pembuktian, keterkaitan (koneksi), komunikasi, dan
representasi.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah dan Kemampuan komunikasi
matematis merupakan dua kemampuan matematis esensial yang harus dimiliki oleh
siswa. Somakim (2000)
menjelaskan bahwa kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi
matematis disebut sebagai daya matematika (mathematicalpower)
atau keterampilan matematis (doingmath).
Salah satu ketrampilan
matematis yang erat kaitannya dengan karakteristik matematika adalah kemampuan
pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan hal yang
sangat penting sehingga menjadi tujuan utama pengajaran matematika bahkan sebagai
jantungnya matematika (Sumarmo, 1994).
Pentingnya memiliki
kemampuan pemecahan masalah matematis bagi siswa seperti dikemukakan oleh NCTM
(2000) pemecahan masalah merupakan proses menerapkan pengetahuan yang telah
diperoleh sebelumnya pada situasi baru dan berbeda. Selain itu, NCTM juga
mengungkapkan tujuan pengajaran pemecahan masalah secara umun adalah untuk (1)
membangun pengetahuan matematika baru,(2) memecahkan masalah yang muncul dalam
matematika dan di dalam konteks-konteks lainnya, (3) menerapkan dan
menyesuaikan bermacam strategi yang sesuai untuk memecahkan permasalahan dan
(4) memantau dan merefleksikan proses dari pemecahan masalah matematika.
Lebih lanjut, NCTM
(2000) menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan bagian dari aspek
berpikir tingkat tinggi (high order of
thingking) yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan aspek intelektual
dan non intelektual. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah perlu dijadikan target dalam pembelajaran
matematika. Bahkan NCTM (2000) merekomendasikan agar pemecahan masalah harus
dimunculkan sejak anak belajar matematika di sekolah dasar sampai seterusnya.
Hal ini menjelaskan bahwa setiap siswa dalam segala tingkat kemampuan
matematika dan jenjang pendidikan perlu dilatih dalam kemampuan pemecahan
masalah. Polya (1973: 5-6) menjelaskan bahwa terdapat 4 tahap dalam pemecahan
masalah, yaitu: (1) Memahami masalah; (2) Menyusun rencana penyelesaian
masalah; (3) Melaksanakan rencana penyelesaian masalah; dan (4) Memeriksa
kembali penyelesaian masalah.
Selain kemampuan
pemecahan masalah matematis, siswa juga harus memiliki kemampuan komunikasi
matematis, sebagaimana diungkapkan Baroody (1993:107) sedikitnya ada dua alasan
penting, mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu
ditumbuhkembangkan di kalangan siswa. Pertama, mathematics as language,
artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir ( a tool to aid
thinking), alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil
kesimpulan, tetapi matematika juga "an invaluable tool for
communicating a variety of ideas clearly,precisely, and succinctly. Kedua,
mathematics learning as social activity: artinya, sebagai aktivitas sosial
dalam pembelajaran matematika, sebagai wahana interaksi antar siswa, serta
sebagai alat komunikasi antara guru dan siswa.
Keadaan di atas
menjelaskan bahwa, guru tidak lagi berperan sebagai pemberi informasi (transfer
of knowledge), tetapi sebagai pendorong siswa belajar (stimulation of
learning) agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan melalui berbagai
aktivitas termasuk aspek berkomunikasi. Hal ini diperkuat oleh Baroody (1993:
107), bahwa pembelajaran harus dapat membantu siswa mengkomunikasikan ide
matematika melalui lima aspek komunikasi yaitu representing, listening,
reading, discussing dan writing.Dengan demikian, kemampuan komunikasi
matematis sebagai salah satu aktivitas sosial (talking) maupun sebagai
alat bantu berpikir (writing) yang direkomendasi para pakar agar terus
ditumbuhkembangkan di kalangan siswa.
Mengingat tingkat
pemahaman siswa dalam mempelajari materi matematika sangat dipengaruhi oleh
kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika, maka diperlukan suatu
inovasi pembelajaran yang dapat memacu semangat siswa untuk secara aktif ikut
terlibat dalam pengalaman belajarnya, sehingga kemampuan komunikasi dan
pemecahan masalah matematika siswa dapat dikembangkan. Salah satunya yaitu
dengan penggunaan model pembelajaran yang inovatif dalam proses
pembelajaran.
Salah satu model
pembelajaran inovatif yang berpotensi membuat siswa mampu mengembangkan
kemampuan pemecahan masalalah dan Kemampuan komunikasi matematisnya serta
menemukan pengetahuannya sendiri (reinvention) adalah pembelajaran
berbasis masalah (Problem-based Learning, disingkat PBL). Melalui model
PBL kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis dapat diraih karena
dalam PBL siswa didorong untuk terlibat aktif dalam kelompok kecil saling berdiskusi
dalam menyelesaikan masalah kehidupan nyata (real-life problem) yang
menantang, rumit, tidak dapat diselesaikan hanya dengan satu langkah, dan
bersifat open-ended.
Pembelajaran berbasis
masalah memberikan kesempatan dan pengalaman kepada siswa untuk melihat dan
mengerjakan pemecahan masalah dengan beragam cara dan berbagai tipe masalah.
pembelajaran berbasis masalah adalah wahana utama untuk membangun kecakapan
berpikir tingkat tinggi-high order thinking skill (HOTS). Penilaian
dalam PBL bersifat on going (sambil berjalan). Trianto (2007 : 68) menjelaskan bahwa model
pembelajaran berbasis masalah juga mengacu pada model pembelajaran yang lain,
antara lain: (1) Pembelajaran Proyek (Project Based Learning), (2)
Pendidikan Berdasarkan Pengalaman (Experience Based Education), (3)
Belajar Autentik (Autentic Learning), dan (4) Pembelajaran Bermakna (Anchored
Instruction)”.
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Komunikasi Matematis”. Adapun rumusan masalah dalam
penelitian ini apakah terdapat pengaruh penerapan
model pembelajaran berbasis masalah terhadap kemampuan pemecahan masalah dan
kemampuan komunikasi matematis siswa.
Metode
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah dan
kemampuan komunikasi matematis siswa dengan penerapan model pembelajaran
berbasis masalah dan dibandingkan dengan kemampuan pemecahan masalah dan
kemampuan komunikasi matematis siswa dengan penerapan model pembelajaran
konvensional serta untuk mengetahui hubungan antara pemecahan masalah dengan
komunikasi matematis. Data dari penelitian ini berupa angka-angka yang
diperoleh dari tes (pretest-posttest).
Dengan demikian, jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan
pendekatan kuantitatif. Adapun desain penelitian eksperimen berbentuk pretest-postestgroups design.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas IX SMP Negeri 1
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian
ini menggunakan teknik sampling random dikarenakan tingkat prestasi belajar siswa yang
berbeda-beda oleh karen itu peneliti mengambil random sampling yang terdiri dari siswa yang tingkat kecerdasan
tinggi, sedang dan rendah. Menurut Kerlinger
(2006:188), simple random sampling
adalah metode penarikan dari sebuah populasi atau semesta dengan cara tertentu
sehingga setiap anggota populasi atau semesta tadi memiliki peluang yang sama
untuk terpilih atau terambil.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tes. Tes dalam
penelitian ini terdari dari pretest
dan posttest.
Pretest bertujuan untuk
mengumpulkan data kemampuan awal siswa. Pengumpulan data awal bertujuan untuk
mengetahui apakah kedua kelompok siswa memiliki kemampuan awal yang relatif
sama sehingga kedua kelompok tersebut dapat dibandingkan.
Adapun posttest bertujuan
untuk mengetahui data hasil tes setelah diajarkan dengan pembelajaran berbasis
masalah.
Untuk mendapat validitas, reabilitas, daya beda, dan tingkat kesukaran,
maka soal tersebut harus diujicobakan pada siswa yang lain disekolah pada
tingkat yang sama. Sebelum dilakukan validasi secara uji statistik, soal tes
terlebih dahulu divalidasi oleh validator yang terdiri dari dua orang dosen
ahli,
setelah divalidasi oleh
validator ahli, kemudian soal tes divalidasi secara uji statistik
menggunakan validitas, Validitas adalah
suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen.
Menurut Arikunto (1998), suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur
apa yang diinginkan. Untuk menguji validitas alat ukur dilakukan dengan
menggunakan rumus Koefesien Korelasi
Person, yaitu :
Keterangan:
rxy : koefesien korelasi antara variabel X
dan Y
X : skor item butir soal
Y : jumlah skor total tiap soal
n : jumlah responden
Penafsiran
terhadap besarnya koefesien korelasi skor setiap item dengan skor total
dilakukan dengan membandingkan nilai rhitung dengan rkritis.
Selanjutnya dengan Reliabilitas, reliabilitas suatu instrumen tes adalah suatu
kekonsistenan instrumen tersebut. Suatu tes yang reliabel bila diberikan pada
subjek yang sama meskipun pada orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda
pula, maka akan memberikan hasil yang relatif sama. Hal ini sejalan dengan yang
diungkapkan oleh Sundayana (2010) adalah “ suatu alat yang memberikan hasil
yang tetap sama atau konsisten. Alat menguji reliabilitas menggunakan rumus Cronbach Alpha (α) (Sundayana: 20) yaitu
:
Keterangan:
r : koefesien reliabilitas
n : banyak butir tes
: jumlah
varians item
St : varians total
Kemudian tingkat
kesukaran, tingkat kesukaran
adalah keberadaan suatu butir soal dipanda sukar, sedang, atau mudah dalam
mengerjakan (Sundayana, 2010 : 77). Untuk mencari tingkat kesukaran suatu
instrumen tes dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
SA : jumlah
skor kelompok atas
Sb : jumlah
skor kelompok bawah
IA : jumlah
skor ideal kelompok bawah
IB : jumlah
skor ideal kelompok bawah
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini berupa data hasil kemampuan pemecahan
masalah dan komunikasi matematis siswa di kelas eksperimen dan kontrol. Selanjutnya
data yang dilakukan analisis
data dengan uji-t berbantuan software
SPSS 22 untuk data perbandingan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan
komunikasi matematis.Sementara itu pengolahan data interaksi
antara model pembelajaran dengan kemampuan awal siswa terhadap kemampuan
pemecahan masalah dan interaksi antara model
pembelajaran dengan kemampuan awal siswa terhadap kemampuan komunikasi
matematis siswa dilakukan
dengan ANAVA berbantuan software SPSS 22.
Adapun hipotesisyang akan diuji adalah:
H0:(Kemampuan komunikasi matematis siswa yang
diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah tidak lebih baik dari
kemampuan matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional)
H1 :(Kemampuan komunikasi matematis siswa yang
diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada
kemampuan matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional)
Hasil
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan
sebanyak 8 kali pertemuan, dengan 4 kali pertemuan di kelas eksperimen yaitu
kelas yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dan 4 kali pertemuan
di kelas kontrol yaitu kelas yang diajarkan dengan model pembelajaran
konvensional. Sebelum pelakasanaan proses pembelajaran pada masing-masing kelas
dengan model pembelajaran yang telah dilakukan terlebih dahulu diberikan pretest dan diakhir jadwal pelaksanaan
pembelajaran diberikan posttest untuk masing-masing kelas tersebut.
1.
Kemampuan
Pemecahan Masalah Siswa
Deskripsi hasil distribusi frekuensi dari data kemampuan pemecahan masalah
siswa dari kedua kelas disajikan dalam Tabel 4.2
berikut ini.
Tabel 4.2Deskripsi data kemampuan pemecahan masalah siswa kelas eksperimen
dan kelas kontrol
Kelas |
N |
Skor Max |
Skor Min |
|
|
|
Eksperimen |
22 |
5,14 |
1,00 |
4,02 |
0,87 |
0,75 |
Kontrol |
20 |
5,14 |
1,00 |
3,27 |
0,98 |
0,95 |
Data Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa kelas eksperimen memiliki
rata-rata4,02
dengan simpangan baku 0,87. Sedangkan kelas kontrol memiliki rata-rata 3,27 dengan simpangan baku 0,98. Hal
ini menunjukkan bahwa ada selisih rata-rata hasil postestkemampuan
pemecahan masalah siswa sebesar 0,75. Namun kedua kelas memiliki skor maksium
dan dan skor minimum yang sama. Untuk
keperluan analisis statistik pada pengujian hipotesis maka
dilakukan uji normalitas pada skor kemampuan pemecahan masalah siswa. Selain
itu analisis statistik pada pengujian hipotesis juga mempertimbangkan
homogenitas varians dari dua kelas tersebut.
Untuk lebih jelasnya maka uji prasyarat dari pengujian
hipotesis statistik dipaparkan berikut ini.
a. Uji
Normalitas
Berdasarkan pengolahan data uji normalitas maka deskripsi hasil uji
normalitas data kemampuan pemecahan masalah dari kelas eksperimen dan kontrol
disajikan pada Tabel4.3 berikut ini.
Tabel 4.3. Hasil uji
normalitas skor posttest kemampuan
pemecahan masalah
kelas eksperimen dan kelas kontrol
Sumber Data |
Kelas |
|
|
Keputusan |
Pretest |
Eksperimen |
8.8323 |
11,591 |
Normal |
Kontrol |
7,0115 |
10,117 |
Normal |
Sumber :Hasil olah data Penelitian
Berdasarkan Tabel 4.3hasil olah data dari uji normalitas skor
postestterhadap data kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen dan
kontrol diekathui dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa data kemampuan pemecahan masalah kelas eskperimen dan kontrol
berdistribusi normal.
b. Uji
Homogenitas
Berdasarkan hasil distribusi frekuensi diketahui bahwa Jika=0,75dan
=0,95.
Dengan demikian
sehinggakriteria pengujian hipotesisnya adalah tolakH0jika
dan terima H0untuk kedaaan lainnya. Hasil deskripsi pengolahan data uji homogenitas
data kemampuan pemecahan masalah dari kelas eksperimen dan kontrol disajikan
pada Tabel 4.4 berikut ini.
Tabel 4.4 Hasil uji
homogenitas skor postestkemampuan pemecahan
masalah kelas eksperimen dan kelas kontrol
Sumber Data |
|
|
Keputusan |
Postest |
1,27 |
2,16 |
Homogen |
Berdasarkan
Tabel 4.4 di atas diketahui=1,26<2,16 =
sehingga data kemampuan pemecahan masalah
kelas eksperimen dan kontrol merupakan data yang berasal dari populasi yang
homogen.
c. Uji
Hipotesis
Data kemampuan
pemecahan masalah berdistribusi
normal dan homogen, maka pengujian hipotesis tentang kemampuan
pemecahan masalah siswa dilakukan
dengan uji-t. Uji-t dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan
dua rata-rata skor pemecahan masalah siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.Hasil deskripsi pengujian hipotesis dengan uji-t dapat dilihat pada Tabel 4.5
berikut ini.
Tabel 4.5 Hasil
pengujian hipotesis skor postestkemampuan
pemecahan
masalah kelas
eksperimen dan kelas kontrol
Sumber Data |
|
|
Keputusan |
Postest |
2,568 |
1,645 |
H0 ditolak |
Dari Tabel 4.5 di atas diperoleh bahwa nilai t hitung
= 2,568sedangkan t tabel = 1,645, sehinggat hitung>t tabel.
Dengan demikian H0 ditolak.
d. Analisis
terhadap Hipotesis Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa
Rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini adalah:“apakah
kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajarkan dengan model
pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada kemampuan pemecahan
masalah yang diajarkan dengan pembelajaran
konvensional?” Dengan hipotesis
yang akan dibuktikan adalah: ”kemampuan
pemecahan masalah siswa yang diajarkan dangan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik
daripada yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional”.
Berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis
penelitian tersebut, maka rumusan
hipotesis penelitian yang akan diuji dalam analisis ini adalah:
H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan
masalah siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalahdengan kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajarkan
dengan pembelajaran konvensional.
H1 : Kemampuan
kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran
berbasis masalahlebih baik
daripada kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajarkan dengan pembelajaran
konvensional.
Adapun
rumusan hipotesis statistik dari hipotesis
penelitian tersebut adalah:
H0: =
H1: >
keterangan:
= rata-rata
kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran
berbasis masalah.
= rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa
yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
Pengujian hipotesis menggunakan statistik-t (Uji –t). Dimana data dari kelas eksperimen dan kelas
kontrol terdistribusi normal dan kedua data tersebut juga berasal pada populasi
yang homogen. Hal ini terbukti berdasrkan uji prasyarat yang telah dilakukan.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai t hitung
= 2,568 sedangkan t tabel = 1,645. Dengan demikian t hitung>
t tabel. Keadaan ini mengakibatkan H0 ditolak.Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kemampuan pemecahan masalah
siswa antara yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dengan
pembelajaran konvensional pada materi statistika.
Hal
ini menjelaskan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajarkan dengan
model pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada kemampuan pemecahan
masalah siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
2. Analisis Terhadap Hipotesis
Kemmapuan Pemecahan Masalah Siswa
Deskripsi hasil distribusi frekuensi dari data kemampuan pemecahan masalah
siswa dari kedua kelas disajikan dalam Tabel 4.6 berikut ini.
Tabel 4.6 Deskripsi data kemampuan komunikasi
matematissiswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol
Kelas |
N |
Skor Max |
Skor Min |
|
s |
|
Eksperimen |
22 |
4,19 |
1,00 |
3,11 |
0,92 |
0,84 |
Kontrol |
20 |
4,19 |
1,00 |
2,86 |
0,94 |
0,89 |
Data Tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa kelas eksperimen memiliki
rata-rata 3,11
dengan simpangan baku 0,92. Sedangkan kelas kontrol memiliki rata-rata 2,86 dengan simpangan baku 0,94. Hal ini menunjukkan bahwa ada selisih
rata-rata hasil kemampuan komunikasi matematis siswa sebesar 0,25. Namun kedua
kelas memiliki skor maksimum dan skor minimum yang sama.
Untuk keperluan analisis statistik pada pengujian hipotesis maka dilakukan
uji normalitas pada skor kemampuan pemecahan masalah siswa. Selain itu analisis
statistik pada pengujian hipotesis juga mempertimbangkan homogenitas varians
dari dua kelas tersebut. Untuk lebih jelasnya maka uji prasyarat dari pengujian
hipotesis statistik dipaparkan berikut ini.
a. Uji
Normalitas
Uji normalitas
merupakan salah satu syarat untuk melakukan pengujian hipotesis dengan
menggunakan statistik-t (uji-t). Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah data
berdistribusi normal atau tidak dari kelas kontrol dan kelas eksperimen untuk data
kemampuan komunikasi matematis siswa. Uji normalitas terhadap dua kelas tersebut dilakukan dengan menggunakan
statistik chi-kuadrat pada taraf signifikan 5% dengan derajat bebasnya
adalah . Adapun kriteria pengambilan keputusannya adalah tolak H0
jika
dan terima untuk keadaan lainnya.
Adapun rumusan hipotesis statistiknya adalah :
H0 :
Data berdistribusi normal
H1 :
Data tidak berdistribusi normal
Berdasarkan pengolahan data uji normalitas maka deskripsi hasil uji
normalitas data kemampuan pemecahan masalah dari kelas eksperimen dan kontrol
disajikan pada Tabel 4.7 berikut ini.
Tabel 4.7 Hasil uji
normalitas skor postestkemampuan komunikasi
Matematis siswakelas
eksperimen dan kelas kontrol
Sumber Data |
Kelas |
|
|
Keputusan |
Pretest |
Eksperimen |
9,517 |
11,591 |
Normal |
Kontrol |
7,188 |
10,117 |
Normal |
Sumber : Hasil olah data Penelitian
Berdasarkan Tabel 4.7 hasil olah data dari uji normalitas
skor postest terhadap data kemampuan komunikasi matematis siswa kelas
eksperimen dan kontrol diekathui dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa data kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eskperimen dan kontrol
berdistribusi normal.
b. Uji
Homogenitas
Berdasarkan hasil distribusi frekuensi diketahui bahwa Jika
=0,84dan
=0,89.
Dengan demikian
sehingga kriteria pengujian hipotesisnya adalah tolak
H0 jika
dan terima H0untuk kedaaan lainnya.
Pengolahan data uji homogenitas maka deskripsi hasil uji homogenitasdata
kemampuan pemecahan masalah dari kelas eksperimen dan kontrol disajikan pada
Tabel 4.8 berikut ini.
Tabel 4.8 Hasil uji
homogenitas skor postestkemampuan pemecahan
masalah kelas
eksperimen dan kelas kontrol
Sumber Data |
|
|
Keputusan |
Postest |
0,94 |
2,16 |
Homogen |
Berdasarkan Tabel 4.8 di atas
diketahui =0,94< 2,16 =
sehingga data kemampuan komunikasi matematis
siswa kelas eksperimen dan kontrol merupakan data yang berasal dari populasi
yang homogen.
c. Uji
Hipotesis
Data kemampuan komunikasi matematis siswaberdistribusi normal dan homogen, maka pengujian hipotesis tentang data kemampuan
komunikasi matematis siswa dilakukan
dengan uji-t. Uji-t dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan
dua rata-rata skor data kemampuan
komunikasi matematis siswa antara
kelas eksperimen dan kelas kontrol.Hasil deskripsi pengujian hipotesis dengan uji-t dapat dilihat pada Tabel 4.9
berikut ini.
Tabel 4.9 Hasil
pengujian hipotesis skor postestkemampuan komunikasi
matematis siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol
Sumber Data |
|
|
Keputusan |
Postest |
0,939 |
1,645 |
H0 diterima |
Dari Tabel 4.9 di atas diperoleh bahwa nilai t hitung
= 0,939 sedangkan t tabel = 1,645, sehingga t hitung<t
tabel. Dengan demikian, H0 diterima.
d. Analisis
terhadap Hipotesis Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa
Rumusan
masalah kedua dalam penelitian ini adalah:“apakah
kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan dengan model
pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada kemampuan matematis
siswa yang diajarkan dengan pembelajaran
konvensional?” Dengan hipotesis
yang akan dibuktikan adalah: ”kemampuan
komunikasi matematis siswa yang diajarkan dangan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik
daripada yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional”.
Berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis
penelitian tersebut, maka rumusan
hipotesis penelitian yang akan diuji dalam analisis ini adalah:
H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan kemampuan komunikasi matematissiswa
yang
diajarkan dengan model pembelajaran berbasis
masalahdengan kemampuan komunikasi matematissiswa
yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
H1 : Kemampuan komunikasi matematissiswayang diajarkan dengan model pembelajaran
berbasis masalahlebih baik
daripadakemampuan komunikasi matematissiswa yang diajarkan dengan pembelajaran
konvensional.
Adapun rumusan hipotesis statistik dari hipotesis
penelitian tersebut adalah:
H0: =
H1: >
keterangan:
= rata-ratakemampuan komunikasi matematissiswayang diajarkan dengan model pembelajaran
berbasis masalah.
= rata-rata kemampuan komunikasi matematissiswa yang diajarkan dengan pembelajaran
konvensional.
Pengujian hipotesis menggunakan statistik-t.
Dimana data dari kelas eksperimen dan kelas kontrol terdistribusi normal dan kedua
data tersebut juga berasal pada populasi yang homogen. Hal ini terbukti berdasarkan uji prasyarat yang telah dilakukan.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai t hitung= 0,939 dengan t tabel = 1,645.
Dengan demikian t hitung<ttabel. Keadaan ini
mengakibatkan H0 diterima. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang
diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dengan kemampuan
komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
Hal
ini menjelaskan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan
dengan model pembelajaran berbasis masalah tidak lebih baik daripada kemampuan
pemecahan masalah siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
Pembahasan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi penjelasan mengenai hasil
dari penerapan model pembelajaran berbasis
masalahterhadap kemampuan pemecahan
masalah dan kemampuan
komunikasi matematis siswa.
1. Kemampuan
pemecahan masalah
Kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajarkan
dangan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada yang diajarkan
dengan pembelajaran konvensional. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajarkan dangan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik
daripada yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.Hal ini sesuai
hasil penelitian Sumartini (2016) yang menyatakan bahwa peningkatan kemampuan
pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran berbasis masalah lebih
baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Hal ini
dikarenakan pembelajaran berbasis masalah memberi manfaat langsung kepada siswa
seperti yang dijelaskan oleh Gick dan Holyoak (dalam Krismiati:2008), yaitu:
a.
Motivasi, dimana siswa merasa diberi kesempatan untuk
merespon dan mendapat hasil dari penyelidikan,
b.
Hubungan dan isi, adanya sebuah jawaban yang jelas
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan,
c.
Berpikir tingkat tinggi, pembelajaran berbasis masalah
membangkitkan berpikir kreatif dan kritis siswa,
d.
Pembelajaran bagaimana belajar, dengan mengembangkan
metakognisi dan pembelajaran diiri yang teratur dimana siswa menghasilkan
dengan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah, dan
e.
Keaslian, mempelajari informasi dan menerapkannya dalam
situasi di masa yang akan datang melalui demonstrasi dan pemahaman.
2.
Kemampuan
Komunikasi Matematis
Kemampuan komunikasi matematis siswa yang
diajarkan dangan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada yang
diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Hasil penelitian menyimpulkan bahwatidak ada perbedaan kemampuan komunikasi
matematis siswa yang diajarkan dangan model
pembelajaran berbasis masalah yang diajarkan dengan pembelajaran
konvensional. Hal ini
dikarenakan kebanyakan siswa masih banyak yang belum teliti dalam menggunakan
simbol aljabar dan terkesan tidak melakukan pemeriksaan dengan teliti terhadap
jawaban yang telah dikerjakannya.Meskipun dalam proses pembelajaran
peneliti telah mengingatkan dan mencoba mengarahkan siswa untuk memeriksa kembali terhadap penggunaan
symbol-simbol dan beberapa hal lainnya.
Hal
ini sesuai dengan penelitian Choridah (2013) bahwa untuk mencapai tingkat
berpiki kreatif siswa harus dipacu dalam komunikasi matematis baik sendiri
maupun secara berkelompok. Sementara itu Sumartini (2016) menjelaskan bahwa
kesalahan siswa dalam mengerjakan soal sering karena kecorobohan yang dilakukan
oleh siswa dan kesalahan dalam memahami soal.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya,
maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.
Kemampuan pemecahan
masalah yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik
daripada kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional
2.
Kemampuan komunikasi
matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah lebih
baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan
pembelajaran konvensional.
Adapun saran yang saran yang bermanfaat dalam rangka meningkatkan mutu
pembelajaran matematika khususnya di SMP Negeri 1 Bandar Baru. Adapun
saran-saran tersebut sebagai berikut.
1.
Pembelajaran
dengan model pembelajaran berbasis masalah dapat dijadikan salah satu
alternatif pembelajaran matematika, khususnya untuk meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah siswa.
2.
Diharapkan
kepada guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas agar memberikan kesempatan
kepada siswa untuk membangun sendiri tentang pemahaman konsepnya.
3.
Diharapkan
guru dapat menambah pengetahuan tentang pemilihan strategi dan model
pembelajaran yang tepat dan efektif dalam mengoptimalkan aktivitas siswa dan
meningkatkan hasil belajar siswa.
4.
Untuk
penelitian lebih lanjut, diharapkan untuk meneliti kemampuan matematis lainnya
yang belum terjangkau oleh peneliti.
Daftar
Pustaka
Baroody.
A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communicating. New York:
Macmillan Publishing.
BSNP. 2006. Standar
Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
NCTM. 2000. Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston,
VA: Authur.
Soedjadi, R. 2000. Kiat
Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat. Jenderal
Pendidikan Tinggi.
Somakim. 2010,
Mengembangkan Self-Efficacy Siswa melalui Pembelajaran. Matematika. Jurnal Pendidikan
Matematika PARADIKMA, 3 (1): 31-36.
Sumarmo, U. 1994. Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika pada Guru dan Siswa SMP.
Bandung: Pendidikan Matematika FPMIPA Bandung.
Trianto.
2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif
Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta : Prestasi Belajar.
Comments
Post a Comment