A. Pengertian
Berpikir
Sebelum
membahas berpikir kritis dan kreatif, terlebih dahulu kita bahas apa itu
berpikir. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1991:767) berpikir adalah
penggunaan dari akal budi dalam mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Menurut
Presseisen (dalam Nur Izzati, 2009), “berpikir secara umum diasumsikan sebagai
proses kognitif, aksi mental ketika pengetahuan diperoleh”. Sedangkan kutipan Beyer
(Wardhani, 2011) menyatakan, “Thinking, in short, is the mental process by
wich individuals make sense out of experience”. Liputo (Aisyah,
2008:17) berpendapat bahwa berpikir
merupakan aktivitas mental yang disadari dan diarahkan untuk maksud tertentu.
Maksud yang dapat dicapai dalam berpikir adalah memahami, mengambil keputusan,
merencanakan, memecahkan masalah dan menilai tindakan.
Ruggiero (dalam
Siswono, 2009) mengartikan berpikir sebagai suatu aktivitas mental untuk
membantu memformulasikan atau memecahkan suatu masalah, membuat suatu
keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand). Pendapat ini menegaskan bahwa
ketika seseorang merumuskan suatu masalah, memecahkan masalah, ataupun ingin
memahami sesuatu, maka ia melakukan suatu aktivitas berpikir. Berdasarkan
pengertian-pengertian di atas berpikir dapat diartikan sebagai kegiatan akal
budi atau kegiatan mental untuk mempertimbangkan, memahami, merencanakan,
memutuskan, memecahkan masalah dan menilai tindakan.
1.
Pemahaman
Matematik
Pemahan diartikan dari
kata “understanding” yang dapat diartikan sebagai penyerapan arti suatu
materi yang dipelajari. Pemahaman merupakan salah satu aspek dari taksonomi
bloom yang dimaksudkan sebagai pelaksanaan perhitungan sederhana dan memahami hubungan konsep.
Secara umum, indikator pemahaman matematika meliputi: mengenal, memahami dan
menerapkan konsep, prosedur, prinsip serta ide matematika.
Pengertian pemahaman
matematika dapat dipandang sebagai proses dan tujuan dari suatu pembelajaran
matematika. Hampir semua teori belajar menjadikan pemahaman sebagai tujuan dari
proses pembelajaran, hal ini sesuai dengan pendapat Mayer, dkk (Afgani, 2011)
yang menyebutkan bahwa pemahaman merupakan aspek fundamental dalam pembelajaran
sehingga model pembelajaran harus menyertakan hal pokok dari pemahaman.
Menurut Polya (dalam
Sumarmo, 2012) ada empat tahapan kemampuan pemahaman siswa yaitu:
1.
Pemahaman mekanikal, yang dicirikan oleh
mengingat dan memerapkan rumus secara rutin dan menghitung secara sederhana
2.
Pemahaman induktif, yang menerapkan
rumus atau konsep dalam kasus sederhana atau dalam kasus serupa
3.
Pemahaman rasional, yang membuktikan
kebenaran suatu rumus dan teorema
4.
Pemahaman intuitif, yang memperkirakan
kebenaran dengan pasti sebelum menganalisis lebih lanjut.
Skemp (Afgani, 2011)
membedakan pemahaman dalam dua jenis, yaitu pemahaman instuksional dan
pemahaman relasional. Pemahaman instruksional dapat diartikan sebagai pemahaman
atas konsep yang saling lepas dan hafalan rumus sederhana yaitu siswa hanya
memahami urutan pengerjaan algoritma tertentu. Sedangkan pemahaman relasional
yaitu pemahaman yang memuat skema dan stuktur yang dapat digunakan pada
penyelesaian masalah yang lebih luas dan bermakna.
Afgani (2011)
mengatakan bahwa pada umumnya para ahli mengukur kemampuan pemahaman matematik
melalui indikator:
1. Kemampuan
menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari
2. Kemampuan
mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi atau tidaknya persyaratan
yang membentuk suatu konsep
3. Kemampuan
menerapkan konsep secara algoritma
4. Kemampuan
memberikan contoh dari konsep yang dipelajari
5. Kemampuan
menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika
6. Kemampuan
mengaitkan berbagai konsep
7. Kemampuan
mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep
2.
Komunikasi
Matematik
Matematika adalah bahasa yang
melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan. Menurut
Fathoni (dalam Ahmad, Online: 2013) matematika dipandang sebagai bahasa karena
“dalam matematika terdapat sekumpulan lambang/simbol dan kata (baik kata dalam
bentuk lambang)”. Misalnya “ >” yang melambangkan kata “lebih dari”, maupun
kata yang diadobsi dari bahasa biasa, misalnya kata “fungsi” yang dalam
matematika menyatakan suatu hubungan dengan aturan tertentu antara unsur-unsur
dalam dua buah himpunan. Simbol-simbol matematika bersifat “artificial” yang baru memiliki arti setelah sebuah makna
diberikan kepadanya. Tanpa itu, maka matematika hanya merupakan kumpulan simbol
dan rumus yang kering akan makna. Berkaitan dengan hal ini, tidak jarang kita
jumpai dalam kehidupan, banyak orang yang berkata bahwa X, Y, Z itu sama sekali
tidak memiliki arti.
Ketika sebuah konsep informasi matematika diberikan oleh seorang
guru kepada peserta didiknya ataupun peserta didik mendapatkannya sendiri
melalui bacaan, maka saat itu sedang terjadi transformasi informasi matematika
dari komunikator kepada komunikan. Respon yang diberikan komunikan merupakan
interpretasi komunikan tentang informasi tadi. Dalam matematika, kualitas
interpretasi dan respon itu seringkali menjadi masalah istimewa. Hal ini
sebagai salah satu akibat dari karakteristik matematika itu sendiri yang sarat
dengan istilah dan simbol. Karena itu, kemampuan berkomunikasi dalam matematika
menjadi tuntutan khusus.
Bagi siswa, matematika merupakan
bahasa kedua yang esensial. Manakala pembelajaran matematika terfokus pada
mengingat istilah-istilah, rumus dan prosedur maka ide-ide yang terkandung
dalam matematika tidak akan sampai. Siswa akan kesulitan dalam mempelajari
bahasa barunya (matematika) yang disampaikan secara cepat. Siswa hanya berada
di kelas matematika secara terpaksa karena matematika merupakan pelajaran wajib
di sekolah.
Matematika umumnya identik dengan
perhitungan angka-angka dan rumus-rumus, sehingga muncullah anggapan bahwa skill
komunikasi tidak dapat dibangun pada pembelajaran matematika. Anggapan ini
tentu saja tidak tepat, karena menurut Greenes dan Schulman (dalam Ahmad,
Online: 2013), komunikasi matematika memiliki peran:
(1) Kekuatan sentral bagi siswa dalam
merumuskan konsep dan strategi matematika.
(2) Modal keberhasilan bagi siswa
terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi
matematika.
(3) Wadah bagi siswa dalam berkomunikasi
dengan temannya untuk memperoleh informasi, membagi pikiran dan penemuan, curah
pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain.
Oleh
karena itu, kemampuan berkomunikasi menjadi salah satu syarat yang memegang
peranan penting karena membantu dalam proses penyusunan pikiran, menghubungkan
gagasan dengan gagasan lain sehingga dapat mengisi hal-hal yang kurang dalam
seluruh jaringan gagasan siswa.
Menurut NCTM (dalam Jarnawi, 2011:4.15)
kemampuan komunikasi dalam matematika adalah:
1.
Kemampuan
dalam mengekspresikan ide-ide matematika melalui lisan, tulisan, dan mampu
mendemontrasikannya serta menggambarkannya secara visual.
2.
Kemampuan
memahami, mengintrepretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematika melalui
lisan, tulisan maupun bentuk visual lainnya.
3.
Kemampuan
dalam menggunakan istilah, notasi matematika, dan struktur-strukturnya untuk
menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan serta model-model situasi.
Adapun indikator yang dapat mengukur kemampuan komunikasi
matematika siswa menurut Sumarmo (dalam Afgani, 2011:4.16) adalah:
a.
Menghubungkan
benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matematika.
b.
Menjelaskan
ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan dengan benda
nyata, gambar, grafik atau bentuk aljabar.
c.
Menyatakan
peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.
d.
Mendengarkan,
berdiskusi dan menulis tentang matematika.
e.
Membaca
presentasi matematika tertulis dan menyusun pertanyaan yang relevan.
f.
Membuat
konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi dan generalisasi.
B. Berpikir
Kritis
Dalam bidang
pendidikan, Aisyah (2011), mengemukakan bahwa berpikir kritis didefinisikan
sebagai pembentukan kemampuan aspek logika seperti kemampuan memberikan
argumentasi, silogisme dan pernyataan yang proposional. Menurut Beyer (dalam
Wardhani, 2011), “Berpikir kritis adalah kumpulan operasi-operasi spesifik yang
mungkin dapat digunakan satu persatu atau dalam banyak kombinasi atau urutan
dan setiap operasi berpikir kritis tesebut memuat analisis dan evaluasi”.
Sedangkan
Ennis (dalam Williawati, 2009:11) mengemukakan, “Definisi berpikir kritis
adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan
keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan”. Oleh karena itu,
indikator kemampuan berpikir kritis dapat diturunkan dari aktivitas kritis
siswa sebagai berikut:
1.
Mencari
pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan;
2.
Mencari
alasan;
3.
Berusaha
mengetahui informasi dengan baik;
4.
Memakai
sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya;
5.
Memperhatikan
situasi dan kondisi secara keseluruhan;
6.
Berusaha
tetap relevan dengan ide utama;
7.
Mengingat
kepentingan yang asli dan mendasar;
8.
Mencari
alternatif;
9.
Bersikap dan
berpikir terbuka;
10.
Mengambil
posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu;
11.
Mencari
penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan;
12.
Bersikap
secara sistimatis dan teratur dengan bagian-bagian dari keseluruhan masalah.
Selanjutnya
Fisher (dalam Agustine, 2009) menekankan indikator keterampilan berpikir kritis
yang penting, meliputi:
1.
Menyatakan
kebenaran pertanyaan atau pernyataan
2.
Menganalisis
pertanyaan atau pernyataan;
3.
Berpikir
logis;
4.
Mengurutkan,
misalnya secara temporal, secara logis, secara sebab akibat;
5.
Mengklasifikasi,
misalnya gagasan objek-objek;
6.
Memutuskan,
misalnya apakah cukup bukti;
7.
Memprediksi
(termasuk membenarkan prediksi);
8.
Berteori;
9.
Memahami
orang lain dan dirinya.
Berdasarkan uraian
yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis
adalah kemampuan menggunakan logika untuk membuat, menganalisis mengevaluasi
serta mengambil keputusan tentang apa yang diyakini dan dilakukan.
C. Berpikir
Kreatif Matematik
Proses
berpikir kreatif berhubungan dengan kreativitas.
Menurut Murdock dan Puccio (dalam Izzati, 2010) istilah berpikir kreatif dan
kreativitas merupakan dua hal yang tidak indentik, namun kedua istilah itu
berelasi secara konseptual. Kreativitas merupakan produk berpikir kreatif dari
individu. Peningkatan kreativitas dari individu sejalan dengan peningkatan proses
berpikir kreatifnya. Selain itu lingkungan yang kondusif dapat mempengaruhi
berlangsungnya berpikir kreatif. Siswono (2009) berpikir kreatif dapat
diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang digunakan seorang untuk membangun
ide atau gagasan yang baru.
Sedangkan
Munandar (dalam Siswono, 2009) menunjukkan indikasi berpikir kreatif dalam
definisinya bahwa “kreativitas (berpikir kreatif atau berpikir divergen) adalah
kemampuan menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana
penekanannya pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keberagaman jawaban”.
Pengertian ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif seseorang makin
tinggi, jika ia mampu menunjukkan banyak kemungkinan jawaban pada suatu
masalah. Tetapi semua jawaban itu harus sesuai dengan masalah dan tepat, selain
itu jawabannya harus bervariasi.
Pendapat lain, dikemukakan oleh
Johnson, (dalam Izzati, 2010); berpikir kreatif merupakan sebuah kebiasaan
dari pikiran yang dilatih dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi,
mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan baru, membuka sudut pandang yang
menakjubkan, dan membangkitkan ide-ide yang tidak terduga. Intuisi bisa
membisikan kepada kita untuk memecahkan sebuah soal matematika dengan cara yang
berbeda, atau menyelidiki sebuah proyek dari sudut pandang yang tidak biasa. Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses berpikir kreatif adalah suatu
kegiatan mental yang digunakan untuk menemukan banyak kemungkinan jawaban pada
suatu masalah, dan membangkitkan ide atau gagasan yang baru.
Comments
Post a Comment