Panggung adalah ruangan kosong yang
hanya di isi oleh sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu. Lampu panggung
tampak temaram. Sarjun, seorang lelaki muda (kira-kira berusia 24 tahun) dengan
menyandang sebuah ransel di punggungnya, tampak melangkah lemas memasuki
panggung. Ribuan rasa kecewa menghias di wajahnya. Lelaki itu kemudian duduk di
atas bangku dan menaruh ransel di sampingnya. Ia tertunduk lesu dan kemudian
mengangkat wajahnya.
SARJUN
Saudara-saudara, sampai hari ini, saya masih mempercayai
Tuhan dengan segala skenario-Nya. Pergantian siang dan malam. Kehidupan dan
kematian. Untung dan rugi. Marah dan cinta. Di dalam semua itu kita melingkar,
menjalar bahkan kadang terpaku tanpa daya. Beragam kisah dilakoni dengan
bermacam rasa yang terkadang menjelma benang kusut. Dibutuhkan kesabaran untuk
mengurainya. Dan, manakala kesabaran yang kita miliki kian menipis atau sama
sekali sirna, adakah orang lain akan datang menawarkan pertolongan? Memberi
kesejukan pada pikiran dan perasaan seperti benang kusut?
Teramat berat bagi saya untuk berbagi kisah ini.
Kisah yang saya sebut sebagai episode daun kering!
Sarjun tertunduk, kecewa berkecamuk
di dadanya. Tak lama, ia kembali mengangkat wajahnya dan melanjutkan ucapannya.
<!— more à
SARJUN
Bukan! Bukan karena menyangkut sisi hidup saya yang
gelap, bukan saudara-saudara! Akan tetapi, hal ini melibatkan keluarga saya
yang tinggal dua orang: Papa dan Alpin, adik saya…
Sarjun merubah posisi duduknya,
memandang langit, tatapannya kosong.
SARJUN
Sejak kematian ibu, saya melanjutkan kuliah di Padang
sedang Alpin kuliah di Medan. Sejak itulah Papa tinggal sendiri di Payakumbuh.
Saya mengerti benar makna kesepian bagi orang seusia Papa. Karena itu saya
mengunjunginya tiap bulan. Alpin pun saya kira begitu. Namun karena Medan dan
Payakumbuh terbentang jarak yang tidak dekat, maka ia hanya pulang tiap liburan
semester.
Tetapi saudara-saudara, kepulangan saya kali ini,
sungguh-sungguh membuat saya hampir putus asa! Betapa tidak? Baru saja saya
sampai di teras depan rumah, tiba-tiba saya mendengar teriakan “tidak” yang
sangat begitu keras. Saya yakin, itu adalah suara Papa. Saya jadi tertegun
mendengarnya, lalu mengintipnya lewat lubang kunci.
Sarjun beranjak dari tempat
duduknya, berdiri dan melangkah ke depan panggung sambil tersenyum mengejek
SARJUN
Saudara-saudara, saudara-saudara tahu apa yang saya
lihat? Sungguh di luar dugaan, saya menyaksikan Papa berdiri disamping meja
telepon dengan kepala tertunduk dan wajah kuyu! Sempoyongan ia menuju sofa.
Kecewa, marah, sedih dan entah makna apa lagi yang dapat dibaca dari raut
wajahnya.
Kesal, lelaki itu kembali duduk di
bangku
SARJUN
Heran, tidak mungkin Papa begitu! Tidak mungkin! Papa
saya bukan lelaki yang rapuh. Ia lelaki paling tegar yang pernah saya kenal. Ia
cerdas meski terkadang sangat egois. Masih terlalu jelas dalam ingatan saya
ketika ia memutuskan berburu babi sebagai olahraga pengisi kesendiriannya.
Sarjun kembali menatap langit. Kali
ini tatapannya tajam.
SARJUN
Waktu itu papa duduk di sofa. Ia membaca Koran, kelihatan
santai, saya datang dan mengambil tempat di sofa lain.
SARJUN
Oke! Silahkan Papa buru babi. Tapi, membeli anjing?
Apalagi seharga dua juta lebih? Saya tidak setuju! Itu haram, Pa!
PAPA
Hehehehe… jika tidak dibeli Papa dapat anjing dari mana?
Mana ada anjing kurap yang bisa buru babi? Atau anjing jadi yang dibagi-bagi
secara gratis? Nak, membeli anjing itu tidak apa-apa asal tujuannya baik. Nah,
menyelamatkan tanaman petani dari hama babi kan perbuatan mulia? Banyangkan
babi-babi yang temok itu diburu dengan anjing kurap, heh, heh… ia akan tetap
merdeka melahap tanaman petani. Dan, petani tidak akan makan, kamu rela petani
mati kelaparan?
SARJUN
Tapi Tuhan tidak pernah menghalalkan sesuatu dari yang
haram
PAPA
Bukan Tuhan namanya kalau sekaku itu. Bukankah kamu
sering bilang: adh-dharuratu tunbihul mahzhurat?
SARJUN
Apakah kondisi seperti itu sudah darurat?
PAPA
Menurutmu, keselamatan manusia bukan ukuran darurat?
SARJUN
Anjing adalah anjing. Babi adalah babi. Najis tetap najis
dan haram tetap haram!
PAPA
Tuhan itu cerdas, nak. Ia tidak akan ciptakan tanah kalau
memang kita dilarang menyentuh benda bernajis. Hehehehe…
Kesal Sarjun seperti memuncak.
Ia berdiri dan melangkah menuju belakang bangku
SARJUN
Bah! Banyak sekali alasan Papa untuk membenarkan
keinginan dan perbuatannya.
Sarjun menggeleng-gelengkan
kepalanya
SARJUN
Nah, saudara-saudara, bukankah apa yang saya saksikan di
rumah tadi tidak masuk akal?
Seseorang yang selama ini tegar tertunduk lesu dan kuyu?
Ini tidak masuk akal!
Apalagi setelah itu saya lihat Papa menangis! Menangis?
Papa menangis? Heh? Tiba-tiba saya dorong daun pintu yang ternyata tidak
terkunci. Papa terkejut melihat kedatangan saya. Segera Papa memburu saya. Lalu
saya dipeluknya erat-erat. Begitu erat saudara-saudara!
Sarjun berhenti sejenak. Ia kembali
duduk dan kemudian menunduk dengan kedua tangan menutup wajah. Keadaan jadi
hening. Lama ia baru bersuara, tapi kali ini suaranya serak. Matanya kelihatan
basah.
SARJUN
Dalam pelukan saya, tangis papa tiba-tiba tumpah. Saya
jadi kikuk. Setelah agak lama, Papa saya ajak duduk. Papa masih menangis
terisak-isak. Saya tinggalkan Papa di sofa, dan mengambil segelas air putih ke
belakang.
Papa menangis? Sungguh tak masuk akal.
Sarjun diam sebentar, menghapus air
mata yang menetes di pipinya. Berdiri lalu bergerak ke depan panggung.
SARJUN
Sampai malam itu, saya masih menganggap Papa sosok yang
tegar, tidak rapuh apalagi cengeng. Saya punya banyak alasan untuk anggapan
ini.
Pernah suatu ketika saya iseng-iseng mengikuti papa buru
babi. Maksud saya untuk menemukan sebuah titik lemah sehingga Papa berhenti
membeli anjing yang konon didatangkan dari Jawa. Tetapi yang saya temukan bukan
titik lemah, melainkan noda hitam yang dicapkan kepada Papa. Ah, saya tidak
tahu bagaimana mengatakan bagian ini. Papa ternyata seorang kriminal! Di hutan
itu ia menanam ganja. Dan, buru babi rupanya hanya kedok buat mengelabui saya!
Ketika itu saya ingin lari ke tempat tak bernama dan
entah dimana. Saya bingung. Tetapi darah muda saya berkata lain. Lawan! Ya,
saya mesti melawan! Saya ambil beberapa helai daun jahanam yang tengah di jemur
oleh anak buah Papa untuk saya linting. Saya kemudian mencari Papa.
Saya temukan Papa sedang merintih kesakitan, katanya
diseruduk babi hutan. Ia hanya merintih, tidak menangis. Rasa iba tiba-tiba
menjalar di dada saya, namun rasa benci telah meruang. Iba tiba-tiba tehalau
oleh benci.
Seperti tidak tejadi apa-apa, saya menyalakan lintingan
tadi, menghisapnya dalam-dalam dan menghempuskan asapnya ke arah Papa. Papa
mencari-cari bau, lalu berdiri dan mengayunkan tamparan keras ke arah saya.
PAPA
Buang! Buang kataku! Aku menanam ganja-ganja itu bukan
untuk anak-anakku. Melainkan untuk anak-anak orang lain. Aku hanya butuh uang
untuk-anak-anakku!
SARJUN
Hmmm, aku bangga jadi anak orang yang tidak memikirkan
anak-anak orang lain. Aku bangga! Aku bangga Pa!
Sarjun kembali terdiam dan duduk di
bangku kayu. Keadaan kembali hening.
SARJUN
Saudara-saudara, sekarang Papa menangis, terisak-isak.
Betul-betul tidak masuk akal. Saya lalu menaruh segelas air putih di atas meja
dan mempersilahkan Papa untuk meminumnya. Tetapi Papa tetap saja
terisak-isak bersama tangisnya. Tiba-tiba, Papa menyebut-nyebut nama Alpin.
Tentu saja saya terkesiap olehnya. Alpin? Ada apa dengan Alpin? Saya jadi
bingung saudara-saudara! Heran!
Sarjun kembali menunduk, ia seperti
menahan emosinya
SARJUN
Saudara-saudara, ternyata yang menyebabkan Papa saya
menangis terisak-isak adalah karena Alpin. Alpin adik saya. Ia di tahan polisi.
Alpin tertangkap basah menghisap daun jahanam itu. Daun yang ditanam orang lain
yang tidak rela anaknya menghisap ganja!
Mendengar itu saya betul-betul kesal! Saat itu juga, saya
ambil ransel dan segera melangkah menuju pintu. Waktu itu saya dengar suara
papa memanggil nama saya, tapi tak lagi saya hiraukan. Saya muak!
Sungguh-sungguh muak!
Sarjun makin menunduk, emosinya
betul-betul memuncak, setelah merasa reda, barulah ia angkat kepalanya
SARJUN
Begitulah saudara-saudara, saya terpaksa kembali ke
Padang malam itu juga. Saya tak sanggup menghadapi kenakalan orang tua seperti
itu. Apalagi orang tua itu Papa saya sendiri. Telah saya putuskan untuk tidak
menemui Papa lagi. Bahkan mungkin di hari pemakamannya kelak, saya takkan hadir.
Saya tak bisa memberinya maaf. Saya tak bisa. Tetapi…hah…entahlah. Mungkin
suatu ketika saya bisa. Mungkin… sebab, sampai saat ini saya masih mempercayai
Tuhan dan segala skenariomya.
Sarjun berdiri, menyandang ranselnya
kemudian berjalan keluar panggung. Bebannya berat
* * *
SELESAI
PARA JAHANAM!
Naskah: Zulfikri Sasma
Adaptasi Cerpen LAMPOR Karya Joni Ariadinata
Naskah: Zulfikri Sasma
Adaptasi Cerpen LAMPOR Karya Joni Ariadinata
Para Pelaku:
JOHARI (suami)
TUMIYAH (istri)
ROS (anak perempuan)
UJANG (anak laki-laki)
JOHARI (suami)
TUMIYAH (istri)
ROS (anak perempuan)
UJANG (anak laki-laki)
Bagi masyarakat yang bermukim di tepi kali comberan, yang
hanya terdiri dari puluhan gubuk-gubuk reot, parade hingar bingar adalah hal
yang biasa terjadi. Terlebih pada saat matahari mulai menciumi bau busuk pada
tepian kali comber yang dipenuhi bermacam-macam sampah. Sumpah serapah, caci
maki, suara bantingan piring yang sering berakhir dengan saling cakar, ternyata
telah menjadi upacara bangun pagi yang mengasyikkan. Hingga, tak ada satupun
yang menarik untuk didengar, apalagi ditonton.
Inilah kisah tentang kaum comberan, kisah tentang
orang-orang yang mengatakan bahwa hidup adalah untuk makan dan senang-senang!
I
Sebuah gubuk reot persis di tepi kali comberan. Dengan artistik ruangan 3x4 meter yang amat sederana, tampak seorang bapak paroh baya keluar dari kamar yang hanya dibatasi oleh triplek dan kain kumal. Pak Johari namanya, ia menguap lalu duduk di dipan kayu yang sama reotnya. Terasa sekali bahwa denyut kehidupan di rumah ini baru dimulai pada pukul 7 pagi.
Sebuah gubuk reot persis di tepi kali comberan. Dengan artistik ruangan 3x4 meter yang amat sederana, tampak seorang bapak paroh baya keluar dari kamar yang hanya dibatasi oleh triplek dan kain kumal. Pak Johari namanya, ia menguap lalu duduk di dipan kayu yang sama reotnya. Terasa sekali bahwa denyut kehidupan di rumah ini baru dimulai pada pukul 7 pagi.
Pak Johari terlihat sibuk dengan tumpukan-tumpukan kertas
di atas mejanya. Ada banyak angka-angka yang tertulis di kertas itu. Ia
terlihat berpikir keras, tak ubahnya seperti seorang professor yang akan
menyelesaikan penelitiannya. Kemudia ia batuk-batuk, lalu meludahkan dahak
kental ke lantai dengan santai.
JOHARI:
Merah delima?
(Johari kembali berpikir keras. Kemudian ia teringat sesuatu, lalu mencarinya diantara tumpukan kertas tersebut, tapi tidak ketemu)
Tum! Tumiyah! Tumiyah…!
(Tak ada sahutan, Johari lalu mengambil sisa tembakau tadi malam dan melinting, membakar, alu menghirupnya dalam-dalam)
Tumiyah! Tum! Hei! Apa kau lihat lembaran syair yang tadi malam kutarok di meja?
Tum! Kau dengar aku Tum?
(Tetap tak ada sahutan, Johari kemudian melanjutkan pekerjaannya)
Merah delima?
(Johari kembali berpikir keras. Kemudian ia teringat sesuatu, lalu mencarinya diantara tumpukan kertas tersebut, tapi tidak ketemu)
Tum! Tumiyah! Tumiyah…!
(Tak ada sahutan, Johari lalu mengambil sisa tembakau tadi malam dan melinting, membakar, alu menghirupnya dalam-dalam)
Tumiyah! Tum! Hei! Apa kau lihat lembaran syair yang tadi malam kutarok di meja?
Tum! Kau dengar aku Tum?
(Tetap tak ada sahutan, Johari kemudian melanjutkan pekerjaannya)
II
Tiba-tiba Tumiyah datang membawa ember plastik sambil membanting daun pintu. Tak ayal lagi, sumpah serapah keluar dari mulutnya sendiri. Johari tetap konsentrasi dengan pekerjaannya. Sepertinya sikap Tumiyah yang datang begitu tiba-tiba adalah hal biasa yang dinikmatinya tiap hari.
Tiba-tiba Tumiyah datang membawa ember plastik sambil membanting daun pintu. Tak ayal lagi, sumpah serapah keluar dari mulutnya sendiri. Johari tetap konsentrasi dengan pekerjaannya. Sepertinya sikap Tumiyah yang datang begitu tiba-tiba adalah hal biasa yang dinikmatinya tiap hari.
TUMIYAH:
Betul-betul kurang ajar itu anak! Pagi-pagi sudah mencuri! Dasar anak jadah! Kau tahu Pak Tua? Uangku 3000 perak yang kusimpan di lemari sudah dicuri oleh si Ujang, padahal uang itu akan kupakai untuk membeli minyak tanah! Dasar anak sinting! Anak setan!
Betul-betul kurang ajar itu anak! Pagi-pagi sudah mencuri! Dasar anak jadah! Kau tahu Pak Tua? Uangku 3000 perak yang kusimpan di lemari sudah dicuri oleh si Ujang, padahal uang itu akan kupakai untuk membeli minyak tanah! Dasar anak sinting! Anak setan!
JOHARI:
Heh, apa kau lihat lembaran syairku yang kusimpan disini?
TUMIYAH:
Mana aku tahu syairmu, pagi ini aku sedang kesal. Lagi pula, apa tidak ada pekerjaan lain selain meramal syair-syair sialanmu itu?
Heh, apa kau lihat lembaran syairku yang kusimpan disini?
TUMIYAH:
Mana aku tahu syairmu, pagi ini aku sedang kesal. Lagi pula, apa tidak ada pekerjaan lain selain meramal syair-syair sialanmu itu?
JOHARI:
Dari pada kau mencaci maki terus-terusan, lebih baik kau bikinkan aku segelas kopi, biar otakku sedikit encer menghitung angka-angka ini
Dari pada kau mencaci maki terus-terusan, lebih baik kau bikinkan aku segelas kopi, biar otakku sedikit encer menghitung angka-angka ini
TUMIYAH:
Hari ini tak ada kopi Pak Tua! Sebaiknya kau simpan saja impianmu itu!
Hari ini tak ada kopi Pak Tua! Sebaiknya kau simpan saja impianmu itu!
JOHARI:
Alah! Kau tahu apa tentang merah delima?
(Johari melanjutkan pekerjaannya dan Tumiyah menghilang menuju dapur)
Alah! Kau tahu apa tentang merah delima?
(Johari melanjutkan pekerjaannya dan Tumiyah menghilang menuju dapur)
III
Ketika Johari asyik dengan pekerjaannya, Ujang anaknya—yang masih berusia 10 tahun—datang, pakaiannya basah kuyup. Dengan melenggang kangkung, ujang mendekati bapaknya dan duduk di dipan. Matanya sibuk memperhatikan bapaknya yang sibuk menghitung angka-angka.
Ketika Johari asyik dengan pekerjaannya, Ujang anaknya—yang masih berusia 10 tahun—datang, pakaiannya basah kuyup. Dengan melenggang kangkung, ujang mendekati bapaknya dan duduk di dipan. Matanya sibuk memperhatikan bapaknya yang sibuk menghitung angka-angka.
JOHARI:
He, anak jadah! Kenapa bajumu basah? Heh, aaa, aku tahu, kau pasti ngintip janda kembang itu mandi ya? Kecil-kecil sudah kurang ajar! Ayo pergi sana! Ganti bajumu! Mengganggu konsentrasiku saja!
(Dengan cuek Ujang beranjak menuju dapur, Johari masih melototkan matanya pada Ujang. Setelah Ujang menghilang, Johari kembali dengan pekerjaannya. Tapi, itupun hanya sebentar, karena tak lama setelah itu, Ujang berlari keluar dari dapur diiringi terikan istrinya yang memekakkan telinga.)
He, anak jadah! Kenapa bajumu basah? Heh, aaa, aku tahu, kau pasti ngintip janda kembang itu mandi ya? Kecil-kecil sudah kurang ajar! Ayo pergi sana! Ganti bajumu! Mengganggu konsentrasiku saja!
(Dengan cuek Ujang beranjak menuju dapur, Johari masih melototkan matanya pada Ujang. Setelah Ujang menghilang, Johari kembali dengan pekerjaannya. Tapi, itupun hanya sebentar, karena tak lama setelah itu, Ujang berlari keluar dari dapur diiringi terikan istrinya yang memekakkan telinga.)
TUMIYAH:
Anak sialan! Hei, mau kemana kau? Heh, jangan lari! Kembalikan dulu uangku yang 3000 perak! Pasti kau yang mencurinya! Hei, jangan lari! Keparat, sampai kapan kau mempermainakan orang tua, heh? Awas kau! Awas!
(Tumiyah terlambat, lari Ujang begitu cepat, begitu keluar dari dapur, ia hanya mendapati suaminya yang tengah asyik dengan angka-angkanya, kontan saja, suaminya pun jadi sasaran kemarahannya)
Anak sialan! Hei, mau kemana kau? Heh, jangan lari! Kembalikan dulu uangku yang 3000 perak! Pasti kau yang mencurinya! Hei, jangan lari! Keparat, sampai kapan kau mempermainakan orang tua, heh? Awas kau! Awas!
(Tumiyah terlambat, lari Ujang begitu cepat, begitu keluar dari dapur, ia hanya mendapati suaminya yang tengah asyik dengan angka-angkanya, kontan saja, suaminya pun jadi sasaran kemarahannya)
TUMIYAH:
Pak tua, apa kau pikir akan makan dengan berada di rumah terus, heh? Ke pasar kek, kemana saja. Aku sudah tidak punya minyak tanah pak tua!
Pak tua, apa kau pikir akan makan dengan berada di rumah terus, heh? Ke pasar kek, kemana saja. Aku sudah tidak punya minyak tanah pak tua!
JOHARI:
Kau ikhlaskan saja 3000 perak itu, untuk beli minyak tanah ngutang dulu di warung si Leman, aku sedang nunggu si Kontan untuk urusan penting.
Kau ikhlaskan saja 3000 perak itu, untuk beli minyak tanah ngutang dulu di warung si Leman, aku sedang nunggu si Kontan untuk urusan penting.
TUMIYAH:
Kontan gundul bonyok! Apa sepenting itu Kontan hingga kau harus menunggu? Dengar pak tua, utang sama si Leman sudah tiga puluh ribu perak, yang penting sekarang minyak tanah, bukan Kontan
Kontan gundul bonyok! Apa sepenting itu Kontan hingga kau harus menunggu? Dengar pak tua, utang sama si Leman sudah tiga puluh ribu perak, yang penting sekarang minyak tanah, bukan Kontan
JOHARI:
Perempuan goblok, kau tahu apa tentang merah delima? Heh, kalau jadi…hem. Kita akan lekas kaya! Aku akan bangun rumah dengan lampu yang lebih besar dari yang ada di Griya Arta sana. Biar mereka nyahok! Kemudian, aku akan…
Perempuan goblok, kau tahu apa tentang merah delima? Heh, kalau jadi…hem. Kita akan lekas kaya! Aku akan bangun rumah dengan lampu yang lebih besar dari yang ada di Griya Arta sana. Biar mereka nyahok! Kemudian, aku akan…
TUMIYAH:
Alah sudah! Dasar pembual!
Alah sudah! Dasar pembual!
(Tumiyah memotong ucapan suaminya, bertengkar dengan
lelaki ini, tak akan menghasilkan apa-apa. Otaknya sudah budek. Lalu menyapu
gubuknya yang seperti kapal pecah. Tengah asyik menyapu, ia teringat bahwa hari
ini adalah hari rabu. Tumiyah tersenyum, emosinya sedikit reda. Ia berhenti
menyapu dan mendekati suaminya yang sedang mabuk membayangkan rumah sehebat
Griya Arta)
TUMIYAH:
Apa kau sudah mendapatkan inpo alam pak tua?
Apa kau sudah mendapatkan inpo alam pak tua?
JOHARI:
Heeeeh perempuan, kamu bilang enggak punya duit!
Heeeeh perempuan, kamu bilang enggak punya duit!
TUMIYAH:
Weeaalahh, tololnya, kalau kau menang kan aku juga yang senang, lagian, apa kau punya duit? Beli minyak tanah saja tidak becus!
Weeaalahh, tololnya, kalau kau menang kan aku juga yang senang, lagian, apa kau punya duit? Beli minyak tanah saja tidak becus!
JOHARI:
Ya sudah, aku cuman mancing-mancing kalau kamu diam-diam masih menyembunyikan uang. Hem, kelihatannya wangsit kali ini memang benar. Coba kau bayangkan, dalam mimpi itu aku dikelilingi tiga ekor kalkun. Kalkun Arab. Setelah dikutak-kutik, ternyata kena pada tujuh delapan dengan ekor dua tujuh. Pokoknya untuk yang satu ini aku harus bisa. Aku akan mengandalkan si Kontan, setidaknya untuk dua kupon
Ya sudah, aku cuman mancing-mancing kalau kamu diam-diam masih menyembunyikan uang. Hem, kelihatannya wangsit kali ini memang benar. Coba kau bayangkan, dalam mimpi itu aku dikelilingi tiga ekor kalkun. Kalkun Arab. Setelah dikutak-kutik, ternyata kena pada tujuh delapan dengan ekor dua tujuh. Pokoknya untuk yang satu ini aku harus bisa. Aku akan mengandalkan si Kontan, setidaknya untuk dua kupon
TUMIYAH:
Terserah, mau Kontan mau setan, aku sudah tak mau tahu, yang penting sekarang minyak! Aku tak mau kelaparan karena Kontan.
(Tumiyah buru-buru bangkit, menyelesaikan pekerjaanya menyapu rumah, agak lama. Ia menoleh ke belakang, ke arah suaminya yang masih bermimpi dengan rumah seindah Griya Arta, hati-hati, ia kemudian menyelinap keluar, bukan ke warung Leman, tetapi ke Pasar untuk membeli dua lembar kupon)
Terserah, mau Kontan mau setan, aku sudah tak mau tahu, yang penting sekarang minyak! Aku tak mau kelaparan karena Kontan.
(Tumiyah buru-buru bangkit, menyelesaikan pekerjaanya menyapu rumah, agak lama. Ia menoleh ke belakang, ke arah suaminya yang masih bermimpi dengan rumah seindah Griya Arta, hati-hati, ia kemudian menyelinap keluar, bukan ke warung Leman, tetapi ke Pasar untuk membeli dua lembar kupon)
IV
Hingga pukul 12.00 siang, Kontan belum jua muncul. Tiba-tiba Ros—anak gadisnya—muncul, Ros datang dengan membawa nasi bungkus dan memakannya sendiri dengan enak. Pak Johari jadi iri dan lapar. Pak Johari jadi ingat bahwa perutnya belum di isi sejak pagi tadi, sedang Tumiyah istrinya ngelayap entah kemana.
Hingga pukul 12.00 siang, Kontan belum jua muncul. Tiba-tiba Ros—anak gadisnya—muncul, Ros datang dengan membawa nasi bungkus dan memakannya sendiri dengan enak. Pak Johari jadi iri dan lapar. Pak Johari jadi ingat bahwa perutnya belum di isi sejak pagi tadi, sedang Tumiyah istrinya ngelayap entah kemana.
JOHARI:
Tentu kau masih menyimpan uang, belikan ayah sebungkus lagi, pake tahu
Tentu kau masih menyimpan uang, belikan ayah sebungkus lagi, pake tahu
ROS:
Nggak! Nggak mau. Uangku hanya tingga 2000 perak buat beli viva, bedakku habis
(Ros tiba-tiba menjauh, menjaga nasinya agar tidak terjangkau oleh ayahnya)
Nggak! Nggak mau. Uangku hanya tingga 2000 perak buat beli viva, bedakku habis
(Ros tiba-tiba menjauh, menjaga nasinya agar tidak terjangkau oleh ayahnya)
JOHARI:
Heh, bukankah itu uangku? Uang dari si Ujang kan?
Heh, bukankah itu uangku? Uang dari si Ujang kan?
ROS:
Enak saja, bang Nasrul yang kasih aku lima ribu
Enak saja, bang Nasrul yang kasih aku lima ribu
JOHARI:
Nasrul? Laki-laki brengsek itu? O ya, kalau begitu tolong kamu pinjamkan sama Nasrul. Nasrul senang kamu? Bagus. Tidak apa-apa
Nasrul? Laki-laki brengsek itu? O ya, kalau begitu tolong kamu pinjamkan sama Nasrul. Nasrul senang kamu? Bagus. Tidak apa-apa
ROS:
Nggak! Pergi saja sendiri
(Ros kemudian lari ke belakang, tentu saja Johari marah sambil berteriak)
Nggak! Pergi saja sendiri
(Ros kemudian lari ke belakang, tentu saja Johari marah sambil berteriak)
JOHARI:
Keparat! Awas kamu Ros, aku doakan kau nyahok dengan Nasrul!
(Pak Johari pun pergi keluar rumah)
Keparat! Awas kamu Ros, aku doakan kau nyahok dengan Nasrul!
(Pak Johari pun pergi keluar rumah)
V
Malam telah larut, lampu minyak telah lama dinyalakan. Kecuali Pak Johari yang memang belum pulang, semua penghuni di rumah itu telah lama lelap bersama mimpi-mimpi indahnya. Ya, tak ada yang perlu dikerjakan selain tidur. Hanya dengan tidurlah keluarga semacam itu bisa tentram dan sunyi.
Malam telah larut, lampu minyak telah lama dinyalakan. Kecuali Pak Johari yang memang belum pulang, semua penghuni di rumah itu telah lama lelap bersama mimpi-mimpi indahnya. Ya, tak ada yang perlu dikerjakan selain tidur. Hanya dengan tidurlah keluarga semacam itu bisa tentram dan sunyi.
Pukul sebelas malam, pak Johari baru pulang. Tubuhnya
sedikit oleng pertanda sedang mabuk berat. Mulutnya menceracau-ceracau tak
karuan. Memanggil-manggil Tumiyah Istrinya.
JOHARI:
Tum, Tumiyah, aku gagal Tum, hik, aku gagal mendapatkan kupon itu, padahal nomornya jitu, hik. Jika saja tidak, mungkin malam ini kita sudah bercinta di Griya Arta, eh, hik, bercinta? O ya, malam ini kita bercinta lagi ya Tum, hik, itulah obat bagi segalanya, hik. Tenanglah Tum, besok akan kupikirkan lagi kabar tentang merah delima, hik. Tum, hik, Tum..
Tum, Tumiyah, aku gagal Tum, hik, aku gagal mendapatkan kupon itu, padahal nomornya jitu, hik. Jika saja tidak, mungkin malam ini kita sudah bercinta di Griya Arta, eh, hik, bercinta? O ya, malam ini kita bercinta lagi ya Tum, hik, itulah obat bagi segalanya, hik. Tenanglah Tum, besok akan kupikirkan lagi kabar tentang merah delima, hik. Tum, hik, Tum..
(Mulut Johari terus menceracau, dalam benaknya sudah
terbayang nikmatnya bercinta dengan Istrinya. Johari kemudian bergerak menuju
salah satu kamar dalam gubuknya, tapi bukan ke kamar dimana Tumiyah Istrinya
telah lama terlelap. Barangkali gara-gara terlalu mabuk sehingga Johari lupa
bahwa ia telah masuk ke kamar Ros anak gadisnya. Dan…)
* * *
SELESAI
Comments
Post a Comment