Skip to main content

daun kering

   Panggung adalah ruangan kosong yang hanya di isi oleh sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu. Lampu panggung tampak temaram. Sarjun, seorang lelaki muda (kira-kira berusia 24 tahun) dengan menyandang sebuah ransel di punggungnya, tampak melangkah lemas memasuki panggung. Ribuan rasa kecewa menghias di wajahnya. Lelaki itu kemudian duduk di atas bangku dan menaruh ransel di sampingnya. Ia tertunduk lesu dan kemudian mengangkat wajahnya. 

SARJUN
Saudara-saudara, sampai hari ini, saya masih mempercayai Tuhan dengan segala skenario-Nya. Pergantian siang dan malam. Kehidupan dan kematian. Untung dan rugi. Marah dan cinta. Di dalam semua itu kita melingkar, menjalar bahkan kadang terpaku tanpa daya. Beragam kisah dilakoni dengan bermacam rasa yang terkadang menjelma benang kusut. Dibutuhkan kesabaran untuk mengurainya. Dan, manakala kesabaran yang kita miliki kian menipis atau sama sekali sirna, adakah orang lain akan datang menawarkan pertolongan? Memberi kesejukan pada pikiran dan perasaan seperti benang kusut?
Teramat berat bagi saya untuk berbagi kisah ini.
Kisah yang saya sebut sebagai episode daun kering!

Sarjun tertunduk, kecewa berkecamuk di dadanya. Tak lama, ia kembali mengangkat wajahnya dan melanjutkan ucapannya.

<!— more à


SARJUN
Bukan! Bukan karena menyangkut sisi hidup saya yang gelap, bukan saudara-saudara! Akan tetapi, hal ini melibatkan keluarga saya yang tinggal dua orang: Papa dan Alpin, adik saya…

Sarjun merubah posisi duduknya, memandang langit, tatapannya kosong.

SARJUN
Sejak kematian ibu, saya melanjutkan kuliah di Padang sedang Alpin kuliah di Medan. Sejak itulah Papa tinggal sendiri di Payakumbuh. Saya mengerti benar makna kesepian bagi orang seusia Papa. Karena itu saya mengunjunginya tiap bulan. Alpin pun saya kira begitu. Namun karena Medan dan Payakumbuh terbentang jarak yang tidak dekat, maka ia hanya pulang tiap liburan semester.
Tetapi saudara-saudara, kepulangan saya kali ini, sungguh-sungguh membuat saya hampir putus asa! Betapa tidak? Baru saja saya sampai di teras depan rumah, tiba-tiba saya mendengar teriakan “tidak” yang sangat begitu keras. Saya yakin, itu adalah suara Papa. Saya jadi tertegun mendengarnya, lalu mengintipnya lewat lubang kunci.

Sarjun beranjak dari tempat duduknya, berdiri dan melangkah ke depan panggung sambil tersenyum mengejek

SARJUN
Saudara-saudara, saudara-saudara tahu apa yang saya lihat? Sungguh di luar dugaan, saya menyaksikan Papa berdiri disamping meja telepon dengan kepala tertunduk dan wajah kuyu! Sempoyongan ia menuju sofa. Kecewa, marah, sedih dan entah makna apa lagi yang dapat dibaca dari raut wajahnya.

Kesal, lelaki itu kembali duduk di bangku

SARJUN
Heran, tidak mungkin Papa begitu! Tidak mungkin! Papa saya bukan lelaki yang rapuh. Ia lelaki paling tegar yang pernah saya kenal. Ia cerdas meski terkadang sangat egois. Masih terlalu jelas dalam ingatan saya ketika ia memutuskan berburu babi sebagai olahraga pengisi kesendiriannya.

Sarjun kembali menatap langit. Kali ini tatapannya tajam.
SARJUN
Waktu itu papa duduk di sofa. Ia membaca Koran, kelihatan santai, saya datang dan mengambil tempat di sofa lain.

SARJUN
Oke! Silahkan Papa buru babi. Tapi, membeli anjing? Apalagi seharga dua juta lebih? Saya tidak setuju! Itu haram, Pa!
PAPA
Hehehehe… jika tidak dibeli Papa dapat anjing dari mana? Mana ada anjing kurap yang bisa buru babi? Atau anjing jadi yang dibagi-bagi secara gratis? Nak, membeli anjing itu tidak apa-apa asal tujuannya baik. Nah, menyelamatkan tanaman petani dari hama babi kan perbuatan mulia? Banyangkan babi-babi yang temok itu diburu dengan anjing kurap, heh, heh… ia akan tetap merdeka melahap tanaman petani. Dan, petani tidak akan makan, kamu rela petani mati kelaparan?
SARJUN
Tapi Tuhan tidak pernah menghalalkan sesuatu dari yang haram
PAPA
Bukan Tuhan namanya kalau sekaku itu. Bukankah kamu sering bilang: adh-dharuratu tunbihul mahzhurat?
SARJUN
Apakah kondisi seperti itu sudah darurat?
PAPA
Menurutmu, keselamatan manusia bukan ukuran darurat?
SARJUN
Anjing adalah anjing. Babi adalah babi. Najis tetap najis dan haram tetap haram!
PAPA
Tuhan itu cerdas, nak. Ia tidak akan ciptakan tanah kalau memang kita dilarang menyentuh benda bernajis. Hehehehe…

 Kesal Sarjun seperti memuncak. Ia berdiri dan melangkah menuju belakang bangku

SARJUN
Bah! Banyak sekali alasan Papa untuk membenarkan keinginan dan perbuatannya.

Sarjun menggeleng-gelengkan kepalanya

SARJUN
Nah, saudara-saudara, bukankah apa yang saya saksikan di rumah tadi tidak masuk akal?
Seseorang yang selama ini tegar tertunduk lesu dan kuyu? Ini tidak masuk akal!
Apalagi setelah itu saya lihat Papa menangis! Menangis? Papa menangis? Heh? Tiba-tiba saya dorong daun pintu yang ternyata tidak terkunci. Papa terkejut melihat kedatangan saya. Segera Papa memburu saya. Lalu saya dipeluknya erat-erat. Begitu erat saudara-saudara!

Sarjun berhenti sejenak. Ia kembali duduk dan kemudian menunduk dengan kedua tangan menutup wajah. Keadaan jadi hening. Lama ia baru bersuara, tapi kali ini suaranya serak. Matanya kelihatan basah.

SARJUN
Dalam pelukan saya, tangis papa tiba-tiba tumpah. Saya jadi kikuk. Setelah agak lama, Papa saya ajak duduk. Papa masih menangis terisak-isak. Saya tinggalkan Papa di sofa, dan mengambil segelas air putih ke belakang.
Papa menangis? Sungguh tak masuk akal.

Sarjun diam sebentar, menghapus air mata yang menetes di pipinya. Berdiri lalu bergerak ke depan panggung.

SARJUN
Sampai malam itu, saya masih menganggap Papa sosok yang tegar, tidak rapuh apalagi cengeng. Saya punya banyak alasan untuk anggapan ini.
Pernah suatu ketika saya iseng-iseng mengikuti papa buru babi. Maksud saya untuk menemukan sebuah titik lemah sehingga Papa berhenti membeli anjing yang konon didatangkan dari Jawa. Tetapi yang saya temukan bukan titik lemah, melainkan noda hitam yang dicapkan kepada Papa. Ah, saya tidak tahu bagaimana mengatakan bagian ini. Papa ternyata seorang kriminal! Di hutan itu ia menanam ganja. Dan, buru babi rupanya hanya kedok buat mengelabui saya!
Ketika itu saya ingin lari ke tempat tak bernama dan entah dimana. Saya bingung. Tetapi darah muda saya berkata lain. Lawan! Ya, saya mesti melawan! Saya ambil beberapa helai daun jahanam yang tengah di jemur oleh anak buah Papa untuk saya linting. Saya kemudian mencari Papa.
Saya temukan Papa sedang merintih kesakitan, katanya diseruduk babi hutan. Ia hanya merintih, tidak menangis. Rasa iba tiba-tiba menjalar di dada saya, namun rasa benci telah meruang. Iba tiba-tiba tehalau oleh benci.
Seperti tidak tejadi apa-apa, saya menyalakan lintingan tadi, menghisapnya dalam-dalam dan menghempuskan asapnya ke arah Papa. Papa mencari-cari bau, lalu berdiri dan mengayunkan tamparan keras ke arah saya.
PAPA
Buang! Buang kataku! Aku menanam ganja-ganja itu bukan untuk anak-anakku. Melainkan untuk anak-anak orang lain. Aku hanya butuh uang untuk-anak-anakku!
SARJUN
Hmmm, aku bangga jadi anak orang yang tidak memikirkan anak-anak orang lain. Aku bangga! Aku bangga Pa!

Sarjun kembali terdiam dan duduk di bangku kayu. Keadaan kembali hening.

SARJUN
Saudara-saudara, sekarang Papa menangis, terisak-isak. Betul-betul tidak masuk akal. Saya lalu menaruh segelas air putih di atas meja dan mempersilahkan Papa untuk meminumnya.  Tetapi Papa tetap saja terisak-isak bersama tangisnya. Tiba-tiba, Papa menyebut-nyebut nama Alpin. Tentu saja saya terkesiap olehnya. Alpin? Ada apa dengan Alpin? Saya jadi bingung saudara-saudara! Heran!

Sarjun kembali menunduk, ia seperti menahan emosinya
SARJUN
Saudara-saudara, ternyata yang menyebabkan Papa saya menangis terisak-isak adalah karena Alpin. Alpin adik saya. Ia di tahan polisi. Alpin tertangkap basah menghisap daun jahanam itu. Daun yang ditanam orang lain yang tidak rela anaknya menghisap ganja!
Mendengar itu saya betul-betul kesal! Saat itu juga, saya ambil ransel dan segera melangkah menuju pintu. Waktu itu saya dengar suara papa memanggil nama saya, tapi tak lagi saya hiraukan. Saya muak! Sungguh-sungguh muak!

Sarjun makin menunduk, emosinya betul-betul memuncak, setelah merasa reda, barulah ia angkat kepalanya

SARJUN
Begitulah saudara-saudara, saya terpaksa kembali ke Padang malam itu juga. Saya tak sanggup menghadapi kenakalan orang tua seperti itu. Apalagi orang tua itu Papa saya sendiri. Telah saya putuskan untuk tidak menemui Papa lagi. Bahkan mungkin di hari pemakamannya kelak, saya takkan hadir. Saya tak bisa memberinya maaf. Saya tak bisa. Tetapi…hah…entahlah. Mungkin suatu ketika saya bisa. Mungkin… sebab, sampai saat ini saya masih mempercayai Tuhan dan segala skenariomya.

Sarjun berdiri, menyandang ranselnya kemudian berjalan keluar panggung. Bebannya berat

*    *    *

SELESAI






PARA JAHANAM!
Naskah: Zulfikri Sasma

Adaptasi Cerpen LAMPOR Karya Joni Ariadinata
Para Pelaku:
JOHARI (suami)
TUMIYAH (istri)
ROS (anak perempuan)
UJANG (anak laki-laki)
Bagi masyarakat yang bermukim di tepi kali comberan, yang hanya terdiri dari puluhan gubuk-gubuk reot, parade hingar bingar adalah hal yang biasa terjadi. Terlebih pada saat matahari mulai menciumi bau busuk pada tepian kali comber yang dipenuhi bermacam-macam sampah. Sumpah serapah, caci maki, suara bantingan piring yang sering berakhir dengan saling cakar, ternyata telah menjadi upacara bangun pagi yang mengasyikkan. Hingga, tak ada satupun yang menarik untuk didengar, apalagi ditonton.
Inilah kisah tentang kaum comberan, kisah tentang orang-orang yang mengatakan bahwa hidup adalah untuk makan dan senang-senang!
I
Sebuah gubuk reot persis di tepi kali comberan. Dengan artistik ruangan 3x4 meter yang amat sederana, tampak seorang bapak paroh baya keluar dari kamar yang hanya dibatasi oleh triplek dan kain kumal. Pak Johari namanya, ia menguap lalu duduk di dipan kayu yang sama reotnya. Terasa sekali bahwa denyut kehidupan di rumah ini baru dimulai pada pukul 7 pagi.
Pak Johari terlihat sibuk dengan tumpukan-tumpukan kertas di atas mejanya. Ada banyak angka-angka yang tertulis di kertas itu. Ia terlihat berpikir keras, tak ubahnya seperti seorang professor yang akan menyelesaikan penelitiannya. Kemudia ia batuk-batuk, lalu meludahkan dahak kental ke lantai dengan santai.
JOHARI:
Merah delima?
(Johari kembali berpikir keras. Kemudian ia teringat sesuatu, lalu mencarinya diantara tumpukan kertas tersebut, tapi tidak ketemu)
Tum! Tumiyah! Tumiyah…!
(Tak ada sahutan, Johari lalu mengambil sisa tembakau tadi malam dan melinting, membakar, alu menghirupnya dalam-dalam)
Tumiyah! Tum! Hei! Apa kau lihat lembaran syair yang tadi malam kutarok di meja?
Tum! Kau dengar aku Tum?
(Tetap tak ada sahutan, Johari kemudian melanjutkan pekerjaannya)
II
Tiba-tiba Tumiyah datang membawa ember plastik sambil membanting daun pintu. Tak ayal lagi, sumpah serapah keluar dari mulutnya sendiri. Johari tetap konsentrasi dengan pekerjaannya. Sepertinya sikap Tumiyah yang datang begitu tiba-tiba adalah hal biasa yang dinikmatinya tiap hari.
TUMIYAH:
Betul-betul kurang ajar itu anak! Pagi-pagi sudah mencuri! Dasar anak jadah! Kau tahu Pak Tua? Uangku 3000 perak yang kusimpan di lemari sudah dicuri oleh si Ujang, padahal uang itu akan kupakai untuk membeli minyak tanah! Dasar anak sinting! Anak setan!
JOHARI:
Heh, apa kau lihat lembaran syairku yang kusimpan disini?
TUMIYAH:
Mana aku tahu syairmu, pagi ini aku sedang kesal. Lagi pula, apa tidak ada pekerjaan lain selain meramal syair-syair sialanmu itu?
JOHARI:
Dari pada kau mencaci maki terus-terusan, lebih baik kau bikinkan aku segelas kopi, biar otakku sedikit encer menghitung angka-angka ini
TUMIYAH:
Hari ini tak ada kopi Pak Tua! Sebaiknya kau simpan saja impianmu itu!
JOHARI:
Alah! Kau tahu apa tentang merah delima?
(Johari melanjutkan pekerjaannya dan Tumiyah menghilang menuju dapur)
III
Ketika Johari asyik dengan pekerjaannya, Ujang anaknya—yang masih berusia 10 tahun—datang, pakaiannya basah kuyup. Dengan melenggang kangkung, ujang mendekati bapaknya dan duduk di dipan. Matanya sibuk memperhatikan bapaknya yang sibuk menghitung angka-angka.
JOHARI:
He, anak jadah! Kenapa bajumu basah? Heh, aaa, aku tahu, kau pasti ngintip janda kembang itu mandi ya? Kecil-kecil sudah kurang ajar! Ayo pergi sana! Ganti bajumu! Mengganggu konsentrasiku saja!
(Dengan cuek Ujang beranjak menuju dapur, Johari masih melototkan matanya pada Ujang. Setelah Ujang menghilang, Johari kembali dengan pekerjaannya. Tapi, itupun hanya sebentar, karena tak lama setelah itu, Ujang berlari keluar dari dapur diiringi terikan istrinya yang memekakkan telinga.)
TUMIYAH:
Anak sialan! Hei, mau kemana kau? Heh, jangan lari! Kembalikan dulu uangku yang 3000 perak! Pasti kau yang mencurinya! Hei, jangan lari! Keparat, sampai kapan kau mempermainakan orang tua, heh? Awas kau! Awas!
(Tumiyah terlambat, lari Ujang begitu cepat, begitu keluar dari dapur, ia hanya mendapati suaminya yang tengah asyik dengan angka-angkanya, kontan saja, suaminya pun jadi sasaran kemarahannya)
TUMIYAH:
Pak tua, apa kau pikir akan makan dengan berada di rumah terus, heh? Ke pasar kek, kemana saja. Aku sudah tidak punya minyak tanah pak tua!
JOHARI:
Kau ikhlaskan saja 3000 perak itu, untuk beli minyak tanah ngutang dulu di warung si Leman, aku sedang nunggu si Kontan untuk urusan penting.
TUMIYAH:
Kontan gundul bonyok! Apa sepenting itu Kontan hingga kau harus menunggu? Dengar pak tua, utang sama si Leman sudah tiga puluh ribu perak, yang penting sekarang minyak tanah, bukan Kontan
JOHARI:
Perempuan goblok, kau tahu apa tentang merah delima? Heh, kalau jadi…hem. Kita akan lekas kaya! Aku akan bangun rumah dengan lampu yang lebih besar dari yang ada di Griya Arta sana. Biar mereka nyahok! Kemudian, aku akan…
TUMIYAH:
Alah sudah! Dasar pembual!
(Tumiyah memotong ucapan suaminya, bertengkar dengan lelaki ini, tak akan menghasilkan apa-apa. Otaknya sudah budek. Lalu menyapu gubuknya yang seperti kapal pecah. Tengah asyik menyapu, ia teringat bahwa hari ini adalah hari rabu. Tumiyah tersenyum, emosinya sedikit reda. Ia berhenti menyapu dan mendekati suaminya yang sedang mabuk membayangkan rumah sehebat Griya Arta)
TUMIYAH:
Apa kau sudah mendapatkan inpo alam pak tua?
JOHARI:
Heeeeh perempuan, kamu bilang enggak punya duit!
TUMIYAH:
Weeaalahh, tololnya, kalau kau menang kan aku juga yang senang, lagian, apa kau punya duit? Beli minyak tanah saja tidak becus!
JOHARI:
Ya sudah, aku cuman mancing-mancing kalau kamu diam-diam masih menyembunyikan uang. Hem, kelihatannya wangsit kali ini memang benar. Coba kau bayangkan, dalam mimpi itu aku dikelilingi tiga ekor kalkun. Kalkun Arab. Setelah dikutak-kutik, ternyata kena pada tujuh delapan dengan ekor dua tujuh. Pokoknya untuk yang satu ini aku harus bisa. Aku akan mengandalkan si Kontan, setidaknya untuk dua kupon
TUMIYAH:
Terserah, mau Kontan mau setan, aku sudah tak mau tahu, yang penting sekarang minyak! Aku tak mau kelaparan karena Kontan.
(Tumiyah buru-buru bangkit, menyelesaikan pekerjaanya menyapu rumah, agak lama. Ia menoleh ke belakang, ke arah suaminya yang masih bermimpi dengan rumah seindah Griya Arta, hati-hati, ia kemudian menyelinap keluar, bukan ke warung Leman, tetapi ke Pasar untuk membeli dua lembar kupon)
IV
Hingga pukul 12.00 siang, Kontan belum jua muncul. Tiba-tiba Ros—anak gadisnya—muncul, Ros datang dengan membawa nasi bungkus dan memakannya sendiri dengan enak. Pak Johari jadi iri dan lapar. Pak Johari jadi ingat bahwa perutnya belum di isi sejak pagi tadi, sedang Tumiyah istrinya ngelayap entah kemana.
JOHARI:
Tentu kau masih menyimpan uang, belikan ayah sebungkus lagi, pake tahu
ROS:
Nggak! Nggak mau. Uangku hanya tingga 2000 perak buat beli viva, bedakku habis
(Ros tiba-tiba menjauh, menjaga nasinya agar tidak terjangkau oleh ayahnya)
JOHARI:
Heh, bukankah itu uangku? Uang dari si Ujang kan?
ROS:
Enak saja, bang Nasrul yang kasih aku lima ribu
JOHARI:
Nasrul? Laki-laki brengsek itu? O ya, kalau begitu tolong kamu pinjamkan sama Nasrul. Nasrul senang kamu? Bagus. Tidak apa-apa
ROS:
Nggak! Pergi saja sendiri
(Ros kemudian lari ke belakang, tentu saja Johari marah sambil berteriak)
JOHARI:
Keparat! Awas kamu Ros, aku doakan kau nyahok dengan Nasrul!
(Pak Johari pun pergi keluar rumah)
V
Malam telah larut, lampu minyak telah lama dinyalakan. Kecuali Pak Johari yang memang belum pulang, semua penghuni di rumah itu telah lama lelap bersama mimpi-mimpi indahnya. Ya, tak ada yang perlu dikerjakan selain tidur. Hanya dengan tidurlah keluarga semacam itu bisa tentram dan sunyi.
Pukul sebelas malam, pak Johari baru pulang. Tubuhnya sedikit oleng pertanda sedang mabuk berat. Mulutnya menceracau-ceracau tak karuan. Memanggil-manggil Tumiyah Istrinya.
JOHARI:
Tum, Tumiyah, aku gagal Tum, hik, aku gagal mendapatkan kupon itu, padahal nomornya jitu, hik. Jika saja tidak, mungkin malam ini kita sudah bercinta di Griya Arta, eh, hik, bercinta? O ya, malam ini kita bercinta lagi ya Tum, hik, itulah obat bagi segalanya, hik. Tenanglah Tum, besok akan kupikirkan lagi kabar tentang merah delima, hik. Tum, hik, Tum..
(Mulut Johari terus menceracau, dalam benaknya sudah terbayang nikmatnya bercinta dengan Istrinya. Johari kemudian bergerak menuju salah satu kamar dalam gubuknya, tapi bukan ke kamar dimana Tumiyah Istrinya telah lama terlelap. Barangkali gara-gara terlalu mabuk sehingga Johari lupa bahwa ia telah masuk ke kamar Ros anak gadisnya. Dan…)
* * *
SELESAI

Comments

Popular posts from this blog

Makalah KPK dan FPB

MENENTUKAN KELIPATAN PERSEKUTUAN TERKECIL (KPK) DAN FAKTOR PERSEKUTUAN TERBESAR (FPB)  DENGAN METODE EBIK A. PENDAHULUAN Pendidikan hendaknya mampu membentuk cara berpikir dan berprilaku anak yang positif. Tatanan berpikir yang ingin di bentuk adalah kemampuan berpikir logis, kritis, dan sistematis, sehingga dari kemampuan berpikir ini akan mengarahkan setiap orang khususnya siswa untuk berprilaku positif, terarah dan efektif. Matematika sebagai salah satu ilmu pengetahuan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kemampuan berpikir setiap orang, oleh karena itu kesadaran untuk mampu mengetahui dan memahami matematika bagi siswa sangat diharapkan sudah bertumbuh sejak usia dini. Membentuk pemahaman yang utuh pada anak dalam pelajaran matematika diperlukan kecintaan terlebih dahulu terhadap matematika, oleh karena itu seorang pendidik hendaknya mampu menciptakan “Fun Learning” di dalam kelas. Fun learning pada matematika dapat tercipta apabila seorang guru mampu mengaj...

Matematika Menurut NCTM

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) menyatakan bahwa pembelajaran matematika di sekolah dari jenjang pendidikan dasar hingga kelas XII  memerlukan standar pembelajaran yang berfungsi untuk menghasilkan siswa yang memiliki kemampuan berpikir, kemampuan penalaran matematis dan memiliki pengetahuan serta ketrampilan dasar yang bermanfaat. Menurut NCTM 2000, disebutkan bahwa terdapat lima kemampuan  dasar  matematika  yang  merupakan  standar  proses yakni pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan bukti (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connections) dan representasi (representation). Dengan mengacu pada lima standar kemampuan NCTM, maka dalam tujuan pembelajaran   matematika   menurut   Badan   Standar   Nasional.

RPP Bahasa Indonesia Kelas 3 SD/MI - Kurikulum Merdeka ganjil

RPP I Bahasa Indonesia - Kelas 3 SD/MI Kurikulum: Merdeka Satuan Pendidikan: SD/MI Mata Pelajaran: Bahasa Indonesia Kelas/Semester: 3 / Genap Alokasi Waktu: 2 x 35 menit Topik/Modul Ajar: Membaca dan Menanggapi Cerita Anak Tujuan Pembelajaran Siswa dapat membaca cerita anak dengan lancar. Siswa dapat mengidentifikasi tokoh, latar, dan alur dalam cerita. Siswa dapat mengungkapkan pendapat tentang isi cerita secara lisan dan tertulis. Kegiatan Pembelajaran Pendahuluan (10 menit) Guru menyapa siswa dan membuka pembelajaran dengan salam dan doa. Apersepsi: Guru menanyakan buku cerita atau dongeng yang pernah dibaca siswa. Menyampaikan tujuan pembelajaran hari ini. Kegiatan Inti (50 menit) Eksplorasi: Guru membacakan satu cerita anak pendek (misalnya: “Kancil dan Buaya”) dengan intonasi yang tepat. Elaborasi: Siswa diminta membaca kembali secara bergiliran. Diskusi bersama: siapa tokoh utama, di mana latar cerita...